Kedudukan Pemerintahan Desa dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan
Mengapa pemilihan kepala desa tidak dimasukkan dalam salah satu bagian macam-macam pemilu di dalam UUD 1945?
Menurut hemat
kami, lembaga yang paling tepat adalah Majelis Pemusyawaratan Rakyat (“MPR”). Karena MPR
berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Selain itu, Anda juga dapat menyimak buku ”Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002” yang diterbitkan Mahkamah Konstitusi untuk mengetahui proses pembahasan perubahan UUD 1945 oleh MPR.
Meski demikian,
dalam kesempatan ini kami akan menjelaskan mengenai pengaturan Pemilihan
Umum dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, serta soal
pemilihan kepala desa. Dalam konteks pertanyaan Anda, maka pembahasan
soal pemilihan kepala desa akan kami kaitkan dengan bagaimana kedudukan
pemerintahn desa dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
Mengenai Pemilihan Umum, di dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa:
“Pemilihan
Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.”
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Selain
pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD,
dalam UUD 1945 juga disinggung soal pemilihan kepala daerah. Pemilihan
kepala daerah yaitu Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara
demokratis (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945). Pelaksanaan pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota sekarang ini dipilih dalam satu pasangan
calon yang dilaksanakan dengan demokratis secara langsung (Pasal 56 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) Berdasarkan Pasal 57 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (“UU
Pemda”), penyelenggara dari pemilihan umum kepala daerah adalah Komisi
Pemilihan Umum Daerah yang bertanggung jawab kepada DPRD.
Dengan demikian, dapat dikatakan yang termasuk Pemilihan Umum yang diatur
dalam UUD 1945 adalah pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD yang diselenggarakan oleh Komisi
Pemilihan Umum, serta Pemilihan Umum Kepala Daerah (Gubernur, Bupati,
dan Walikota) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah.Jadi, UUD 1945 memang tidak menjadikan pemilihan kepala desa sebagai bagian dari Pemilihan Umum.
Guna memahami hal tersebut, menurut kami relevan untuk menyimak pendapat Jimly Asshiddiqie dalam buku “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia” (hal. 234). Dalam buku tersebut Jimly berpendapat bahwa keberadaan desa sebagai ‘self governing community’
bersifat otonom atau mandiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa daya jangkau
organisasi Negara secara struktural hanya sampai pada tingkat
kecamatan, sedangkan di bawah kecamatan dianggap sebagai wilayah otonom
yang diserahkan pengaturan dan pembinaannya kepada dinamika yang hidup
dalam masyarakat sendiri secara otonom. Semangat demikian ini telah
dikukuhkan pula dalam perubahan UUD 1945 yang memberikan peluang untuk
tumbuh dan berkembangnya hukum adat yang hidup dalam masyarakat. Hal ini
merujuk pada ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Menurut Jimly Asshiddiqie (2002: 24) sebagaimana dikutip dari makalah yang berjudul “Pendapat KHN tentang RUU Desa” yang disusun Komisi Hukum Nasional
(“KHN”), yang dimaksud sebagai satuan pemerintahan daerah di sini
adalah satuan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau
pemerintahan desa yang bersifat khusus atau istimewa, misalnya sistem
pemerintahan desa di Provinsi Sumatera Barat yang disebut dengan nagari
dan di beberapa daerah lain berkembang sistem pemerintahan desa yang
bersifat khas, khusus ataupun istimewa.
Pendapat Jimly tersebut bersesuaian dengan definisi desamenurut Pasal 1 angka 12 UU Pemda yaitu:
“Desa
atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pemilihan Kepala Desa lebih jauh diatur dalam UU Pemda. Pemilihan Kepala Desa
dilaksanakan secara langsung oleh penduduk desa Warga Negara Indonesia
yang syarat dan tata caranya diatur dalam Perda yang berpedoman pada
Peraturan Pemerintah (Pasal 203 ayat [1] UU Pemda). Kepala Desa berbeda dengan Lurah. Kepala Desa dipilih dari penduduk yang berasal dan tinggal di desa tersebut (lihat Pasal 203 ayat [1] UU Pemda),
sedangkan Lurah adalah pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan
teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang diangkat Bupati/Walikota atas usul Camat (Pasal 127 ayat [4] UU Pemda). Ketentuan lebih lanjut mengenai desa juga diatur dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Dengan penjelasan tersebut, menurut hemat kami, alasan mengapa dalam UUD 1945 tidak mengatur soal pemilihan kepala desa boleh jadi karena
desa diberikan wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri
berdasarkan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati oleh Negara
Republik Indonesia. Bukti
adanya sifat pemerintahan sendiri dalam desa dapat dilihat dari fakta
bahwa desa memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri dari pemerintah
desa dan badan permusyawaratan desa (Pasal 200 ayat [1] UU Pemda). Bahkan badan permusyawaratan desa bersama kepala desa dapat membuat peraturan desa (Pasal 209 UU Pemda).
Pada
sisi lain, pengaturan pemerintahan desa yang demikian rupa dalam UU
Pemda dipandang cenderung bertentangan dengan semangat UUD 1945.
Pandangan ini antara lain dapat kita simak dalam makalah “Pendapat KHN tentang RUU Desa” sebagai berikut:
UU No. 32 Tahun 2004 melakukan pembagian NKRI menjadi propinsi dan kabupaten/kota. Dalam Pasal 2 menegaskan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Desa, dalam hal ini, tidak termasuk dalam skema desentralisasi teritorial. Undang-undang ini tidak mengenal otonomi Desa melainkan hanya otonomi daerah. Pengaturan seperti ini membawa konsekuensi pada keberadaan Desa yang kurang menonjol dan Desa menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Hal ini bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 18B UUD 1945 bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
Demikian, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar