Rabu, 15 Mei 2013

Telah terjadi kesewenangan pemilik kost terhadap penghuni kost, seperti masuk kamar penghuni tanpa ada izin terlebih dahulu dari penyewa kamar itu. Adakah aturan hukum untuk menindak kesewenangan pemilik kost tersebut? Terima kasih.
Sebelumnya, perlu kita ketahui bahwa kost atau yang berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut juga dengan indekos memiliki arti tinggal di rumah orang lain dng atau tanpa makan (dng membayar setiap bulan); memondok. Pada praktiknya, indekos adalah penyewaan kamar yang sudah dilengkapi dengan mebel-mebel di dalam kamar tersebut.
 
Mengenai penyewaan kamar ini, kita dapat melihat pada ketentuan dalam Pasal 1586 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”):
 
Penyewaan kamar yang dilengkapi dengan mebel harus dianggap telah dilakukan untuk tahunan, bila dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap tahun; untuk bulanan, bila dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap bulan; untuk harian, bila dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap hari. Jika tidak ternyata bahwa penyewaan dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap tahun, tiap bulan atau tiap hari, maka penyewaan dianggap telah dibuat menurut kebiasaan setempat.
 
Pasal 1586 KUHPer ini termasuk ke dalam Bab VII tentang Sewa Menyewa. Ini berarti terhadap indekos juga berlaku pengaturan mengenai sewa menyewa.
 
Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu (Pasal 1548 KUHPer).
 
Dalam pengaturan mengenai sewa menyewa, berdasarkan Pasal 1550 KUHPer, pihak yang menyewakan diwajibkan untuk:
1.    Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa;
2.   Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan;
3.  Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram daripada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa.
 
Pada dasarnya, dalam ketentuan mengenai sewa menyewa tidak diatur mengenai tindakan kesewenangan penyewa terhadap orang yang menyewa yang dalam hal ini adalah pemilik indekos masuk kamar penghuni tanpa ada izin terlebih dahulu dari penyewa kamar itu. Akan tetapi pada prinsipnya penyewa kamar indekos tersebut memiliki hak untuk dapat menggunakan kamar yang ia sewa tanpa ada gangguan dari pihak manapun.
 
Terkait tindakan pemilik indekos yang mengganggu itu, pertama-tama Anda harus melihat terlebih dahulu apakah sebelumnya telah diperjanjikan bahwa pemilik indekos dapat masuk ke kamar penyewa kamar indekos tanpa izin penyewa kamar. Jika tidak ada pengaturan demikian, maka Anda dapat membicarakan dengan baik-baik bahwa Anda merasa tidak nyaman dengan tindakan pemilik indekos.
 
Jika cara tersebut tidak berhasil, Anda dapat melakukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum, yaitu bertentangan dengan hak orang lain. Dimana hak Anda adalah mendapatkan ketentraman dalam menikmati barang yang Anda sewa dan tidak untuk diganggu privasi Anda. Mengenai perbuatan melawan hukum, Anda dapat membaca artikel-artikel berikut ini:
 
Demikian, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

Perbedaan antara Keputusan Presiden dengan Peraturan Presiden

1. Apakah Keputusan Presiden bisa disamakan dengan Peraturan Presiden? 
2. Jika berbeda, bagaimana kekuatan hukum dan pemberlakuan Keputusan Presiden? 
 
1.   Pembahasan mengenai hal ini pernah kami tulis dalam artikel Perbedaan Keputusan dengan Peraturan  dan Perbedaan antara Peraturan Menteri dengan Keputusan Menteri.
 
Seperti dijelaskan dalam artikel Perbedaan Keputusan Dengan Peraturan, suatu keputusan (beschikking) selalu bersifat individual, kongkret dan berlaku sekali selesai (enmahlig). Sedangkan, suatu peraturan (regels) selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku secara terus menerus (dauerhaftig). 
 
Dengan demikian, Keputusan Presiden (Keppres) berbeda dengan Peraturan Presiden (Perpres). Keputusan Presiden adalah norma hukum yang bersifat konkret, individual, dan sekali selesai (contoh: Keppres No. 6/M Tahun 2000 tentang Pengangkatan Ir. Cacuk Sudarijanto sebagai Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Sedangkan Peraturan Presiden adalah norma hukum yang bersifat abstrak, umum, dan terus-menerus (contoh: Perpres No. 64 Tahun 2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Jalan).
 
Kecuali untuk Keputusan Presiden yang sampai saat ini masih berlaku dan mengatur hal yang umum contohnya Keppres No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional, maka berdasarkan Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”), Keppres tersebut harus dimaknai sebagai peraturan.
 
Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 100 UU 12/2011 yang berbunyi:
 
“Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
 
Jadi, Keputusan Presiden berbeda dengan Peraturan Presiden karena sifat dari Keputusan adalah konkret, individual, dan sekali selesai sedangkan sifat dari Peraturan adalah abstrak, umum, dan terus-menerus. Bila Keppres bersifat mengatur hal yang umum, maka harus dimaknai sebagai Peraturan.
 
2.   Mengenai kekuatan hukum dan pemberlakuan suatu Keputusan Presiden, kembali pada materi yang diatur dalam Keputusan Presiden tersebut. Apabila Keppres tersebut bersifat konkret, individual, sekali selesai, maka isi Keppres hanya berlaku dan mengikat kepada orang atau pihak tertentu yang disebut dan mengenai hal yang diatur dalam Keppres tersebut.

Beda halnya jika Keppres tersebut berisi muatan yang bersifat abstrak, umum, dan terus menerus, maka Keppres tersebut berlaku untuk semua orang dan tetap berlaku sampai Keppres tersebut dicabut atau diganti dengan aturan baru.
 
Jadi, Keppres berbeda dengan Perpres karena  sifat-sifat dari Keputusan Presiden adalah konkret, individual, dan sekali selesai sedangkan sifat dari Peraturan Presiden adalah abstrak, umum, dan terus-menerus. Isi Keppres berlaku untuk orang atau pihak tertentu yang disebut dalam Keppres tersebut, sedangkan isi Perpres berlaku untuk umum. Kecuali bila Keppres memiliki muatan seperti Perpres, maka keberlakuannya juga sama seperti Perpres.
 
Demikian, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
2.    Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Jalan;
3.  Keputusan Presiden Nomor 6/M Tahun 2000 tentang Pengangkatan Ir. Cacuk Sudarijanto sebagai Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
4.    Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional.

Jerat Hukum Pengancaman Melalui Media Elektronik

saya sebagai anak paling bungsu dari 3 bersaudara di keluarga saya. Orang tua saya pisah sementara selama 3 minggu setelah ibu saya ketahuan selingkuh dengan pria lain. Ayah saya menuduh adik dari ibu saya telah mempengaruhi ibu saya. Saking kesalnya, secara tidak sengaja ayah saya mengancam adik ibu saya melalu media elektronik blackberry. Kemudian, ibu saya membalas dengan melaporkan bukti ancaman berupa chat history blackberry messenger ke polisi. Saya sangat prihatin dengan kondisi keluarga saya yang melibatkan hukum karena masalah tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Jadi, pasal hukum apa saja yang terlibat bila ibu saya benar-benar mau melaporkan ayah saya ke polisi?

Terima kasih atas pertanyaan Anda,
 
Sebelumnya, saya perlu menyampaikan rasa prihatin saya atas permasalahan yang dialami oleh keluarga Anda. Saya berharap permasalahan tersebut dapat segera diselesaikan secara kekeluargaan, tanpa harus melalui proses hukum. Karena pada prinsipnya hukum pidana adalah ultimum remedium, atau upaya terakhir yang dapat ditempuh setelah semua upaya lain sudah coba ditempuh.
 
Untuk menjawab pertanyaan pokok Anda, sejauh ini dari pengamatan saya, dapat diasumsikan bahwa perbuatan yang dilaporkan oleh ibu Anda adalah soal pengancaman ayah Anda terhadap adik ibu Anda dengan menggunakan media elektronik. Namun demikian, dalam proses penyidikan dimungkinkan adanya delik lain yang dapat dipersangkakan terhadap ayah Anda. Hal ini sebagai konsekuensi dari berkembangnya proses penyidikan atas suatu dugaan tindak pidana.
 
Secara konvensional, dugaan tindak pidana pengancaman yang ayah Anda lakukan, lebih tepat jika dipersangkakan dengan menggunakan Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan dan bukan dengan menggunakan Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan dan Pengancaman.
 
Akan tetapi, karena dugaan tindak pidana pengancaman tersebut dilakukan melalui sarana/media yaitu dengan suatu informasi atau dokumen elektronik (melalui blackberry messenger), maka ketentuan Pasal 29 Jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) dapat diterapkan sebagai lex specialis (hukum yang lebih khusus, ed.) dari Pasal 335 KUHP, yang berbunyi:
 
Pasal 29 UU ITE
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”
 
Pasal 45 ayat (3) UU ITE
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
 
Menjawab pertanyaan Anda, selain ketentuan Pasal 29 Jo. Pasal 45 ayat 3 UU ITE tentang pengancaman secara elektronik tersebut di atas, maka jika memenuhi unsur-unsur pasal yang ada dan seiring dengan berkembangnya proses penyidikan, ayah Anda juga dapat dipersangkakan telah melanggar Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE tentang Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik secara elektronik, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
 
Sekedar informasi bagi Anda, sejak 21 April 2008, UU ITE telah menjadi “hukum positif” di Indonesia, artinya sudah berlaku secara sah dan setiap orang dianggap telah mengetahuinya (teori fiksi hukum). Di satu sisi, UU ITE telah memberikan pengaturan sanksi pidana yang sangat keras bagi yang melanggarnya, namun tidak memberikan ketegasan dan kejelasan apakah perbuatan tersebut termasuk dalam “delik biasa” (setiap orang karena hak dan kewajibannya dapat melaporkan suatu perbuatan pidana) atau “delik aduan” (delik yang hanya bisa diproses secara hukum jika ada pengaduan dari korban langsung).
 
Untuk itu, saya berpendapat bahwa dalam menerapkan pasal-pasal yang mengandung sanksi pidana dalam UU ITE yang merupakan lex specialis dari pasal-pasal KUHP, hendaknya para penegak hukum dapat memperhatikan apakah pasal-pasal dari KUHP tersebut sebagai ketentuan umum (general) merupakan delik aduan atau delik biasa. Hal ini penting, untuk menjaga agar penerapan pasal-pasal pidana yang tersebar dalam UU ITE tidak dijadikan sebagai “sapu jagat” untuk mengkriminalkan seseorang.
 
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga memberikan pencerahan untuk Anda.
 
Dasar hukum:

Kedudukan Pemerintahan Desa dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan

Kedudukan Pemerintahan Desa dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan
Mengapa pemilihan kepala desa tidak dimasukkan dalam salah satu bagian macam-macam pemilu di dalam UUD 1945?
Menurut hemat kami, lembaga yang paling tepat adalah Majelis Pemusyawaratan Rakyat (“MPR”). Karena MPR berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Selain itu, Anda juga dapat menyimak buku Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002” yang diterbitkan Mahkamah Konstitusi untuk mengetahui proses pembahasan perubahan UUD 1945 oleh MPR.
Meski demikian, dalam kesempatan ini kami akan menjelaskan mengenai pengaturan Pemilihan Umum dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, serta soal pemilihan kepala desa. Dalam konteks pertanyaan Anda, maka pembahasan soal pemilihan kepala desa akan kami kaitkan dengan bagaimana kedudukan pemerintahn desa dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
Mengenai Pemilihan Umum, di dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa:
“Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Selain pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD, dalam UUD 1945 juga disinggung soal pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah yaitu Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945). Pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sekarang ini dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan dengan demokratis secara langsung (Pasal 56 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) Berdasarkan Pasal 57 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemda”), penyelenggara dari pemilihan umum kepala daerah adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah yang bertanggung jawab kepada DPRD.
Dengan demikian, dapat dikatakan yang termasuk Pemilihan Umum yang diatur dalam UUD 1945 adalah pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum, serta Pemilihan Umum Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah.Jadi, UUD 1945 memang tidak menjadikan pemilihan kepala desa sebagai bagian dari Pemilihan Umum.
Guna memahami hal tersebut, menurut kami relevan untuk menyimak pendapat Jimly Asshiddiqie dalam buku “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia” (hal. 234). Dalam buku tersebut Jimly berpendapat bahwa keberadaan desa sebagai ‘self governing community’ bersifat otonom atau mandiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa daya jangkau organisasi Negara secara struktural hanya sampai pada tingkat kecamatan, sedangkan di bawah kecamatan dianggap sebagai wilayah otonom yang diserahkan pengaturan dan pembinaannya kepada dinamika yang hidup dalam masyarakat sendiri secara otonom. Semangat demikian ini telah dikukuhkan pula dalam perubahan UUD 1945 yang memberikan peluang untuk tumbuh dan berkembangnya hukum adat yang hidup dalam masyarakat. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Menurut Jimly Asshiddiqie (2002: 24) sebagaimana dikutip dari makalah yang berjudul “Pendapat KHN tentang RUU Desa” yang disusun Komisi Hukum Nasional (“KHN”), yang dimaksud sebagai satuan pemerintahan daerah di sini adalah satuan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau pemerintahan desa yang bersifat khusus atau istimewa, misalnya sistem pemerintahan desa di Provinsi Sumatera Barat yang disebut dengan nagari dan di beberapa daerah lain berkembang sistem pemerintahan desa yang bersifat khas, khusus ataupun istimewa.
Pendapat Jimly tersebut bersesuaian dengan definisi desamenurut Pasal 1 angka 12 UU Pemda yaitu:
“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pemilihan Kepala Desa lebih jauh diatur dalam UU Pemda. Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara langsung oleh penduduk desa Warga Negara Indonesia yang syarat dan tata caranya diatur dalam Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah (Pasal 203 ayat [1] UU Pemda). Kepala Desa berbeda dengan Lurah. Kepala Desa dipilih dari penduduk yang berasal dan tinggal di desa tersebut (lihat Pasal 203 ayat [1] UU Pemda), sedangkan Lurah adalah pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang diangkat Bupati/Walikota atas usul Camat (Pasal 127 ayat [4] UU Pemda). Ketentuan lebih lanjut mengenai desa juga diatur dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Dengan penjelasan tersebut, menurut hemat kami, alasan mengapa dalam UUD 1945 tidak mengatur soal pemilihan kepala desa boleh jadi karena desa diberikan wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati oleh Negara Republik Indonesia. Bukti adanya sifat pemerintahan sendiri dalam desa dapat dilihat dari fakta bahwa desa memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa (Pasal 200 ayat [1] UU Pemda). Bahkan badan permusyawaratan desa bersama kepala desa dapat membuat peraturan desa (Pasal 209 UU Pemda).
Pada sisi lain, pengaturan pemerintahan desa yang demikian rupa dalam UU Pemda dipandang cenderung bertentangan dengan semangat UUD 1945. Pandangan ini antara lain dapat kita simak dalam makalah “Pendapat KHN tentang RUU Desa” sebagai berikut:
UU No. 32 Tahun 2004 melakukan pembagian NKRI menjadi propinsi dan kabupaten/kota. Dalam Pasal 2 menegaskan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Desa, dalam hal ini, tidak termasuk dalam skema desentralisasi teritorial. Undang-undang ini tidak mengenal otonomi Desa melainkan hanya otonomi daerah. Pengaturan seperti ini membawa konsekuensi pada keberadaan Desa yang kurang menonjol dan Desa menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Hal ini bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 18B UUD 1945 bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
Demikian, semoga bermanfaat.

Jika Pemeriksaan Kendaraan Dilakukan Polisi Tanpa Surat Perintah

Assalamualaikum, bila kita kedapatan melanggar lalu lintas apakah polisi bisa menindak, sedangkan polisi tersebut sedang tidak berdinas atau tidak ada surat perintah?

Wa’alaikum salam Wr. Wb.
Berdasarkan  asumsikan kami bahwa si pelanggar kedapatan melanggar lalu lintas dalam keadaan tertangkap tangan. Menurut Pasal 1 angka 19 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
“Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.”
Kemudian, khusus di bidang penegakan aturan lalu lintas, polisi memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 260 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, antara lain:
a.   memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut      diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;
b.   melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas   dan Angkutan Jalan;
c.   meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum;
d.   melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti;
e.   melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;
f.    membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
g.   menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti;
h.   melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau
i.    melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.
Kemudian, bagaimana jika penindakan pelanggaran lalu lintas dilakukan oleh polisi yang sedang tidak berdinas atau tidak menggunakan surat perintah? Mengenai hal ini diatur lebih lanjut dalam PP No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (1) PP 80/2012, petugas kepolisian yang melakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan wajib menggunakan pakaian seragam dan atribut serta wajib dilengkapi surat perintah tugas.
Jika petugas kepolisian sudah memenuhi dua syarat ini, baru kemudian ia boleh melakukan penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas dalam hal tertangkap tangan pada saat melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli (lihat Pasal 14 PP 80/2012).
Di dalam pertanyaan diatas, disebutkan polisi tersebut “sedang tidak berdinas”. Jika yang Saudara maksud sedang tidak berdinas yaitu polisi tersebut tidak memakai seragam, maka seperti telah kami jelaskan sebelumnya, petugas kepolisian yang melakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan wajib menggunakan pakaian seragam dan atribut.
Jadi, jika pemeriksaan kendaraan bermotor dilakukan oleh petugas kepolisian yang tidak memakai seragam atau atribut, dan dilakukan tanpa surat perintah tugas, maka pemeriksaan yang dilakukannya tidak sah secara hukum.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:

Status Hukum Anak Hasil Sewa Rahim

sewa rahim atau sering juga dikenal dengan istilah surrogate mother sebenarnya belum ada pengaturannya dalam hukum Indonesia. Hukum di Indonesia hanya mengatur mengenai upaya kehamilan di luar cara alamiah yang mana hasil pembuahan dari suami isteri tersebut ditanamkan dalam rahim isteri dari mana ovum berasal. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 127 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Dalam Pasal 127 UU Kesehatan diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a)    hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b)    dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c)    pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
 
Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung.
 
Sementara itu, Dr. H. Desriza Ratman, MH.Kes dalam bukunya Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia? antara lain menulis bahwa surrogate mother adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami-isteri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami isteri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat. Perjanjian ini lazim disebut gestational agreement (hal. 3). Intinya, surrogate mother adalah perempuan yang menampung pembuahan suami isteri dan diharapkan melahirkan anak hasil pembuahan. Dalam bahasa sederhana berarti ‘ibu pengganti’ atau ‘ibu wali’ (hal. 35). Dari sisi hukum, perempuan penampung pembuahan dianggap ‘menyewakan’ rahimnya.
 
Berdasarkan uraian tersebut dapat kita lihat bahwa surrogate mother ini dikenal juga dengan istilah sewa rahim dikarenakan metodenya, yang mana hasil pembuahan suami isteri ditampung dalam rahim perempuan lain yang dianggap menyewakan rahimnya.
 
Dalam artikel Perlu Payung Hukum Sewa Rahim yang dimuat suaramerdeka.com, pakar hukum kesehatan Undip, dokter Sofwan Dahlan mengatakan praktik sewa rahim secara medis sangat mungkin dilakukan mengingat prosesnya secara garis besar sama dengan bayi tabung. Hanya saja, menurutnya, rahim inang yang digunakan berbeda. Dalam artikel tersebut juga ditulis pernyataan dari Prof Dr Agnes Widanti yang mengatakan bahwa kasus sewa rahim memang menjadi satu dilema. Dia mengatakan, di satu sisi masyarakat membutuhkan, namun di sisi hukum belum ada aturan yang mengatur sewa menyewa rahim sehingga bisa menimbulkan suatu masalah di kemudian hari yang penyelesaiannya sangat sulit. Prof Agens juga mengatakan bahwa kenyataan di Indonesia, surrogate mother ini dibutuhkan dan sudah dilakukan oleh masyarakat dengan diam-diam atau secara kekeluargaan.
 
Status dan Hak waris anak hasil sewa rahim
Mengenai status anak yang lahir dari sewa rahim, pertama-tama kita harus melihat terlebih dahulu pengertian mengenai anak yang sah Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Dalam Pasal 42 UU Perkawinan dikatakan bahwa yang dimaksud anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
 
Sedangkan dalam hukum Islam, berdasarkan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), yang dimaksud dengan anak sah adalah:
a.    anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b.    hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
 
Sebenarnya secara biologis, anak yang dilahirkan oleh si ibu pengganti dari adanya sewa rahim tersebut, adalah anak dari si pasangan suami dan istri tersebut, hanya saja dilahirkan melalui perempuan lain.
 
Akan tetapi, mengenai hal ini terdapat beberapa pendapat. Menurut Desriza Ratman (hal. 120), untuk melihat golongan anak dari kasus surrogate mother, harus dilihat dulu status perkawinan dari wanita surrogate. Menurutnya, anak yang dilahirkan dari sewa rahim dapat berstatus sebagai anak di luar perkawinan yang tidak diakui, jika status wanita surrogate-nya adalah gadis atau janda. Dalam hal ini, anak yang dilahirkan adalah “anak di luar perkawinan yang tidak diakui”, yaitu anak yang dilahirkan karena zina, yaitu akibat dari perhubungan suami atau isteri dengan laki-laki atau perempuan lain.
 
Akan tetapi, lanjut Desriza, anak tersebut dapat menjadi anak sah jika status wanita surrogate-nya terikat dalam perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang dilahirkan adalah anak sah pasangan suami isteri yang disewa rahimnya, sampai si bapak (suami dari wanita surrogate) mengatakan “Tidak” berdasarkan Pasal 251, Pasal 252, dan Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dengan pemeriksaan darah atau DNA dan keputusan tetap oleh pengadilan dan juga berdasarkan atas UU Perkawinan Pasal 44: Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
 
Mengenai hak waris anak yang dilahirkan dari sewa rahim, menurut Desriza, hak waris anak akan ditentukan dari status anak tersebut, apakah anak tersebut adalah anak di luar perkawinan yang tidak diakui atau anak sah.
 
Sewa rahim menurut Hukum Islam
Dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3, ulama besar Mesir Dr. Yusuf Qaradhawi antara lain menulis bahwa semua ahli fiqih tidak membolehkan penyewaan rahim dalam berbagai bentuknya (hal. 660). Menurutnya, para ahli fiqih dan para pakar dari bidang kedokteran telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan suami-istri atau salah satunya untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan demi membantu mereka mewujudkan kelahiran anak. Namun, mereka syaratkan spermanya harus milik sang suami dan sel telur milik sang istri, tidak ada pihak ketiga di antara mereka. Misalnya, dalam masalah bayi tabung (hal. 659). Demikian tulis Qaradhawi.
 
Selanjutnya, Qaradhawi menulis, jika sperma berasal dari laki-laki lain baik diketahui maupun tidak, maka ini diharamkan. Begitupula jika sel telur berasal dari wanita lain, atau sel telur milik sang istri, tapi rahimnya milik wanita lain, inipun tidak diperbolehkan. Ketidakbolehan ini, menurut Qaradhawi, dikarenakan cara ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan membingungkan, “Siapakah sang ibu bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan, ataukah yang menderita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?” Padahal, ia hamil dan melahirkan bukan atas kemauannya sendiri. Demikian Qaradhawi menjelaskan.
 
Lebih jauh Qaradhawi menulis:
 
“Bahkan, jika wanita tersebut adalah istri lain dari suaminya sendiri, maka ini tidak diperbolehkan juga. Pasalnya, dengan cara ini, tidak diketahui siapakah sebenarnya dari kedua istri ini yang merupakan ibu dari bayi akan dilahirkan kelak. Juga, kepada siapakah nasab (keturunan) sang bayi akan disandarkan, pemilik sel telur atau si pemilik rahim?
 
Para ahli fiqih sendiri berbeda pendapat jika hal ini benar-benar terjadi. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ibu sang bayi tersebut adalah si pemilik sel telur, dan saya lebih condong kepada pendapat ini. Ada juga yang berpendapat bahwa ibunya adalah wanita yang mengandung dan melahirkannya. Makna lahiriah dari ayat Al-Qur’an, sejalan dengan pendapat ini, yaitu dalam firman Allah swt,
 
‘Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.’
(al-Mujaadilah: 2)”
 
Demikian kami telah sajikan penjelasan berikut berbagai pendapat mengenai hukum sewa rahim, dan status anak yang dilahirkan dari sewa rahim. Dari berbagai macam pendapat yang kami sajikan tersebut dapat terlihat bahwa pada dasarnya mengenai praktik sewa rahim maupun status anak yang dilahirkan melalui sewa rahim, masih terdapat pro kontra. Pada akhirnya, jika terjadi sengketa sehubungan hal ini, Hakim di pengadilan lah yang akan memutuskan penyelesaiannya.
 
Demikian, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
1.    Al-Quran
5.    Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
 
Referensi:
1.   Dr. Yusuf Qaradhawi. 2001. Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3. Gema Insani Pers: Jakarta.
2.  Dr. H. Desriza Ratman, MH.Kes. 2012. Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia? Elex Media Komputindo: Jakarta

Jika Anggota Polri Memiliki Harta Kekayaan Berlimpah

Jika pasangan suami dan istri anggota polri yang berpangkat masing-masing, Aipda dan Aiptu, tapi memiliki 12 rumah kontrakan, sebidang tanah dengan luas 1000 m, memiliki 2 rumah mewah, dan sebuah pom bensin (walau hanya kerja sama usaha pom bensin), memiliki restoran besar. Apakah termasuk ada unsur korupsi, mengingat kedua pasangan tersebut anggota polri ??


Dalam hal ini, kami berasumsi bahwa anggota Polri yang Anda maksud adalah Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Polri”) dan Pasal 1 angka 2 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“KEPP”).
Kami juga berasumsi pangkat “Aipda” yang Anda maksud adalah singkatan dari Ajun Inspektur Polisi Dua, sedangkan “Aiptu” adalah singkatan dari Ajun Inspektur Polisi Satu. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Polri, dapat kita lihat bahwa anggota Polri adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aipda dan Aiptu termasuk anggota Polri Golongan II (Bintara).
Sebelum membahas mengenai apakah harta benda yang dimiliki oleh pasangan suami isteri anggota Polri ini termasuk ada unsure korupsi, kita lihat terlebih dahulu sebenarnya apa saja hak-hak dari anggota Polri (dari sudut materi).
Pada dasarnya, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak (Pasal 26 ayat (1) UU Polri). Mengenai hal tersebut Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2010 Tentang Hak-Hak Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP No. 42/2010”) mengatur lebih rinci mengenai hak-hak yang diterima oleh anggota Polri, yaitu:
1.    Gaji pokok, yang dapat diberikan kenaikan secara berkala dan dapat diberikan kenaikan gaji istimewa bagi anggota Polri yang berprestasi (Pasal 2 PP No. 42/2010);
2.    Tunjangan keluarga (yang terdiri atas tunjangan istri/suami dan anak), tunjangan jabatan, tunjangan lauk pauk, tunjangan beras (Pasal 3 PP No. 42/2010);
3.    Tunjangan umum dan tunjangan lainnya (Pasal 4 PP No. 42/2010). Dalam artikel Anggota Polri Dapat Tunjangan 100 Persen diberitakan antara lain bahwa Anggota Polri dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Polri yang bertugas secara penuh pada pulau–pulau kecil terluar dan/atau wilayah perbatasan mendapat tunjangan khusus. Setiap bulan, tunjangan mereka pada kisaran 75-100 persen gaji pokok sesuai tempat tugas masing-masing. Tunjangan khusus ini diatur dalam Perpres No. 34 Tahun 2012 tentang Tunjangan Khusus Wilayah Pulau-Pulau Kecil Terluar dan/atau Wilayah Perbatasan Bagi Pegawai Negeri;
4.    Perumahan dinas/asrama/mess, sedangkan bagi anggota Polri yang belum memperoleh perumahan dinas/asrama/mess dapat diberikan kompensasi sewa rumah sesuai kemampuan keuangan negara (Pasal 11 PP No. 42/2010);
5.    Fasilitas transportasi atau angkutan dinas (Pasal 12 PP No. 42/2010)
Mengenai besarnya gaji untuk anggota Polri dapat Anda lihat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 17 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedelapan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2001 Tentang Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Besarnya gaji pokok anggota Polri juga bergantung pada masa kerja golongan (MKG) anggota Polri yang bersangkutan.
Terkait dengan korupsi, pada dasarnya setiap anggota Polri pada saat mengucapkan sumpah jabatan berjanji bahwa ia akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya (Pasal 23 UU Polri).
Selain itu, berdasarkan Pasal 13 KEPP dilarang untuk melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan/atau gratifikasi. Lebih jauh mengenai apa saja yang menjadi kewajiban dan larangan bagi anggota Polri, dapat dilihat juga dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa tentu saja tetap ada kemungkinan pelanggaran dilakukan oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugas sebagai anggota Polri. Tentu saja hal tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, misalnya dapat dilihat dari tidak sesuainya gaji dan tunjangan yang diperoleh oleh anggota Polri dengan harta benda yang dimilikinya.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam artikel yang berjudul Pembuktian Terbalik Bisa Diterapkan untuk Pegawai Negeri, bila ada seorang PNS yang mempunyai kekayaan melebihi pendapatan seharusnya berarti sudah bisa dipastikan bahwa tindakannya tersebut ilegal. Jimly juga mengatakan bahwa bisa dipastikan dia mempunyai pendapatan di luar resmi.
Kemudian, di dalam artikel Bukti yang Harus Dimiliki PNS atas Penghasilan Sampingan antara lain dijelaskan bahwa untuk memastikan bahwa dana di rekening gendut PNS bukanlah dari hasil tindak pidana (misal: korupsi), Pasal 5 angka 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menentukan bahwa seorang PNS sebagai penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat sebagai PNS.
Jadi, untuk dapat mengatakan anggota Polri tersebut melakukan tindak pidana korupsi, maka harus dapat dibuktikan bahwa ada tindakan yang dilakukan oleh pasangan suami isteri tersebut atau salah satu dari mereka yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
7.    Peraturan Presiden No. 34 Tahun 2012 tentang Tunjangan Khusus Wilayah Pulau-Pulau Kecil Terluar dan/atau Wilayah Perbatasan Bagi Pegawai Negeri
8.    Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Siapa yang Mengawasi Kerja Intelijen?

Siapa yang Mengawasi Kerja Intelijen?
Indonesia adalah rechstaat bukan machstaat hal itu tertuang dalam UUD 45 namun riilnya kekuasaan telah melebihi hukum, power tends to corrupt, intelijen sebagai badan yang bertanggungjawab menyediakan baket untuk negara telah menjadi kaki tangan kekuasaan dengan bermain dalam lingkaran kepentingan eksekutif -politik praktis-. Bagaimanakah mekanisme supervisor terhadap kinerja dan kerja badan intelijen agar tidak menyeleweng dari tugas utamanya melindungi dan melayani bangsa dan tidak semena-mena melanggar HAM hanya karena dalam doktrin intelijen yang mempunyai hak kebal dari hukum karena melaksanakan perintah jabatan? Siapa supervisor intelijen dan adakah transparansi hasil kerjanya?  

1.      Sebenarnya di Indonesia, yang menjalankan fungsi intelijen negara tidak hanya Badan Intelijen Negara (“BIN”), ada juga lembaga lain yang menjalankan fungsi ini berdasarkan Pasal 9 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara (“UU 17/2011”):
a.      Badan Intelijen Negara;
b.      Intelijen Tentara Nasional Indonesia;
c.      Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d.      Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia; dan
e.      Intelijen kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.

Mengenai peran dan fungsi Intelijen Negara dapat dilihat dalam ketentuan UU 17/2011 sebagai berikut:
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Peran
Pasal 4
Intelijen Negara berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan dan keamanan nasional.

Fungsi
Pasal 6
(1) Intelijen Negara menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan.
(2) Penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan yang dilakukan secara terencana dan terarah untuk mencari, menemukan, mengumpulkan, dan mengolah informasi menjadi Intelijen, serta menyajikannya sebagai bahan masukan untuk perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.
(3) Pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terencana dan terarah untuk mencegah dan/atau melawan upaya, pekerjaan, kegiatan Intelijen, dan/atau Pihak Lawan yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional.
(4) Penggalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan yang dilakukan secara terencana dan terarah untuk memengaruhi Sasaran agar menguntungkan kepentingan dan keamanan nasional.
(5) Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus menghormati hukum, nilai-nilai demokrasi, dan hak asasi manusia.
Secara khusus dalam hal ini kami asumsikan yang Anda tanyakan adalah mekanisme supervisi dari BIN. Pada dasarnya, BIN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden (lihat Pasal 27 UU 17/2011). Dengan demikian, laporan dan pertanggungjawabannya disampaikan secara tertulis kepada Presiden (lihat Pasal 42 ayat [1] UU 17/2011). Selanjutnya, laporan dan pertanggungjawaban penyelenggara intelijen negara (anggota BIN) disampaikan secara tertulis kepada pimpinan masing-masing (lihat Pasal 42 ayat [2] UU 17/2011).
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berikut ini selengkapnya struktur organisasi BIN adalah (sumber: www.indonesia.go.id):
a.      Kepala;
b.      Wakil Kepala;
c.      Sekretariat Utama;
d.      Deputi Bidang Luar Negeri;
e.      Deputi Bidang Dalam Negeri;
f.       Deputi Bidang Kontra Intelijen;
g.      Deputi Bidang Pengolahan dan Produksi;
h.      Deputi Bidang Teknologi;
i.        Inspektorat Utama;
j.        Staf Ahli Bidang Politik;
k.      Staf Ahli Bidang Ekonomi;
l.        Staf Ahli Bidang Hukum;
m.    Staf Ahli Bidang Sosial Budaya;
n.      Staf Ahli Bidang Pertahanan dan Keamanan.

Dalam menjalankan tugasnya, anggota BIN terikat pada Kode Etik Intelijen Negara yang ditetapkan oleh BIN (lihat Pasal 20 UU 17/2011). Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Intelijen Negara ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan Intelijen Negara yang dibentuk oleh BIN dan bersifat ad hoc. Dewan Kehormatan ini berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik Intelijen Negara yang dilakukan oleh Personel BIN (lihat Pasal 21 UU 17/2011).

Dalam BIN, pengawasan internal juga dilakukan oleh pimpinan masing-masing selain dari pengawasan eksternal yang dilakukan oleh komisi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang khusus menangani bidang Intelijen (lihat Pasal 43 UU 17/2011) yakni Komisi I DPR RI. Hal ini juga telah diatur dalam Pasal 42 Peraturan Presiden No. 34 Tahun 2010 tentang Badan Intelijen Negara bahwa setiap pimpinan unit organisasi wajib mengawasi bawahannya masing-masing, bila terjadi penyimpangan agar mengambil langkah-langkah proaktif yang diperlukan dalam rangka memberikan sanksi hukuman disiplin berdasarkan kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, dalam hal ada orang yang merasa dirugikan akibat dari pelaksanaan fungsi intelijen, orang tersebut dapat mengajukan permohonan rehabilitasi, kompensasi dan restitusi (lihat Pasal 15 ayat [1] UU 17/2011).

Jadi, dengan mekanisme pengawasan ketat baik dari internal, eksternal dan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan BIN, diharapkan kinerja BIN tidak menyimpang dari peran dan fungsinya sebagaimana tersebut di atas.

2.      Mengenai siapa supervisor intelijen negara telah kami paparkan dalam penjelasan di atas (poin 1).

Mengenai transparansi hasil kerja BIN, berdasarkan asas penyelenggaraan Intelijen sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 17/2011 yang meliputi:
a.      profesionalitas;
b.     kerahasiaan;
c.      kompartementasi;
d.      koordinasi;
e.      integritas;
f.       netralitas;
g.      akuntabilitas; dan
h.      objektivitas.

Dari asas-asas tersebut di atas, adanya asas kerahasiaan dengan sendirinya tidak memungkinkan adanya transparansi dalam pelaksanaan kinerja BIN. Terutama karena rahasia intelijen adalah merupakan bagian dari rahasia negara (lihat Pasal 25 UU 17/2011). Secara khusus, terkait dengan penyadapan, dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU 17/2011 disebutkan bahwa hasil penyadapan hanya digunakan untuk kepentingan Intelijen dan tidak untuk dipublikasikan. Hasil kerja BIN baru dapat diketahui umum pada saat para penegak hukum telah mengungkapkannya (pada umumnya di media).

Demikian, semoga bermanfaat.

Dasar hukum: