... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Forum_Exsekutif@Inspirasi.Blogspot.com adalah menyediakan dan melayangkan semangat tentang dorongan kehidupan tentang pergerakan kegiatan positif menuju kelayakan kemampuan kedepan dalam diri.
Rabu, 25 Desember 2013
MERAYAKAN KEMATIAN
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Selasa, 24 Desember 2013
PANCAKE BUAT TUHAN
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Senin, 23 Desember 2013
SARINGAN TIGA KALI
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Senin, 16 Desember 2013
LUKISAN PERJAMUAN TERAKHIR
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Minggu, 15 Desember 2013
MENABUR BENIH
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
SETENGAH JAM SAJA
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Sabtu, 14 Desember 2013
ANAK ANJING
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Rabu, 11 Desember 2013
HATI NURANI SANG PENCURI
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Selasa, 10 Desember 2013
KETIKA KAISAR MEMERINTAH DENGAN BELAS KASIH
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Jumat, 06 Desember 2013
SEPATU SANG RAJA
Seorang raja berjalan kaki melihat-lihat keadaan ibu kota. Di jalan depan istana, kakinya terluka karena menginjak batu tajam.
“Jalan di depan istana ini sangat buruk. Aku harus memperbaikinya,” begitu pikirnya.
Maka, Sang Raja segera merumuskan proyek untuk memperbaiki jalan di depan istana itu. Ia ingin jalan itu dilapisi dengan kulit sapi terbaik, agar siapapun yang melewatinya tidak terluka. Persiapan mengumpulkan sapi-sapi di seluruh negeri dilakukan.
Di tengah kesibukan luar biasa itu, seorang pertapa menghadap raja dan berkata, “Wahai Paduka. Mengapa Paduka mengorbankan sekian banyak kulit sapi untuk melapisi jalan tersebut, padahal yang Paduka perlukan hanya dua potong kulit sapi untuk sepatu yang berfungsi melapisi telapak kaki Paduka?”
....
Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Rabu, 04 Desember 2013
PEMICU KERUSAKAN OTAK
Otak manusia terdiri lebih dari 100 miliar syaraf yang masing-masing terkait dengan 10 ribu syaraf lain. Bayangkan, dengan kerumitan otak seperti itu, maka Anda wajib menyayangi otak Anda cukup dengan menghindari kebiasaan-kebiasaan buruk yang sering disepelekan.
Otak adalah organ tubuh vital yang merupakan pusat pengendali sistem syaraf pusat. Otak mengatur dan mengkordinir sebagian besar gerakan, perilaku dan fungsi tubuh homeostasis seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh.
Otak juga bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi. ingatan, pembelajaran motorik dan segala bentuk pembelajaran lainnya.
Sungguh suatu tugas yang sangat rumit dan banyak. Maka, hindarilah kebiasaan buruk di bawah jika Anda masih ingin otak Anda bekerja dengan baik.
1. Tidak mau sarapan
Banyak orang menyepelekan sarapan, padahal tidak mengkonsumsi makanan di pagi hari menyebabkan turunnya kadar gula dalam darah. Hal ini berakibat pada ....
Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Sabtu, 02 November 2013
Tabloid Berita Nasional Narkoba: Waspada!
Tabloid Berita Nasional Narkoba: Waspada!: Kampung Ambon Muncul di Daerah Lain Jakarta, bnn Siapa yang tak kenal Kampung Ambon! Nama itu identik sebagai sarang narkoba. C...
Tabloid Berita Nasional Narkoba: Waspada!
Tabloid Berita Nasional Narkoba: Waspada!: Kampung Ambon Muncul di Daerah Lain Jakarta, bnn Siapa yang tak kenal Kampung Ambon! Nama itu identik sebagai sarang narkoba. C...
Jumat, 25 Oktober 2013
KPK
Undang - Undang Pendukung
Sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan KPK antara lain:
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
- Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
- Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang
- Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK
- Undang-Undangn No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
- Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 Tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK
- Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Mengenai Pengaduan Masyarakat KPK
Banyak orang bertanya-tanya bagaimana
KPK bisa menangkap tangan praktk suap/pemerasan, atau dari mana KPK bisa
mengendus korupsi ketka belum terjadi. Apakah KPK punya ribuan kamera
yang memantau seluruh pejabat di negeri ini setiap hari? Atau, ada
jutaan mikrofon yang menguping percakapan setap proses pengadaan di
seluruh daerah?
Keberhasilan KPK dalam menangkap
koruptor ternyata merupakan hasil dari peran serta dan kepedulian
masyarakat dalam melaporkan kasus korupsi. KPK sangat mengharapkan peran
serta masyarakat untuk memberikan akses informasi ataupun laporan
adanya dugaan tndak pidana korupsi (TPK) yang terjadi di sekitarnya.
Informasi yang valid disertai bukti pendukung yang kuat akan sangat
membantu KPK dalam menuntaskan sebuah perkara korupsi.
BENTUK-BENTUK KORUPSI
- Perbuatan melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian negara
- Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara
- Penggelapan dalam jabatan
- Pemerasan dalam jabatan
- Tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan
- Delik gratifikasi
- Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
- Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
- Menyangkut kerugian keuangan negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan kepada KPK melalui surat, datang langsung, telepon, faksimile, SMS, atau KPK Whistleblower's System (KWS). Tindak lanjut penanganan laporan tersebut sangat bergantung pada kualitas laporan yang disampaikan.
KPK WHISTLEBLOWER'S SYSTEM (KWS)
Selain melalui melalui surat, datang langsung, telepon, faksimile, dan SMS, masyarakat juga bisa menyampaikan laporan dugaan TPK secara online, yakni melalui KPK Whistleblower's System (KWS).
Melalui fasilitas ini, kerahasiaan pelapor dijamin dari kemungkinan terungkapnya identitas kepada publik. Selain itu, melalui fasilitas ini pelapor juga dapat secara aktif berperan serta memantau perkembangan laporan yang disampaikan dengan membuka kotak komunikasi rahasia tanpa perlu merasa khawatir identitasnya akan diketahui orang lain.
Caranya cukup dengan mengunjungi website KPK: www.kpk.go.id, lalu pilih menu "KPK Whistleblower's System", atau langsung mengaksesnya melalui: http://kws.kpk.go.id.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan laporan ke KPK, yakni meliputi persyaratan dan kelengkapan atas pelaporan tersebut. Sebab, laporan yang lengkap akan mempermudah KPK dalam memproses tindak lanjutnya.
FORMAT LAPORAN/PENGADUAN YANG BAIK
- Pengaduan disampaikan secara tertulis
- Dilengkapi identitas pelapor yang terdiri atas: nama, alamat lengkap, pekerjaan, nomor telepon, fotokopi KTP, dll
- Kronologi dugaan tindak pidana korupsi
- Dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan yang sesuai
- Nilai kerugian dan jenis korupsinya: merugikan keuangan negara/penyuapan/pemerasan/penggelapan
- Sumber informasi untuk pendalaman
- Informasi jika kasus tersebut sudah ditangani oleh penegak hukum
- Laporan/pengaduan tidak dipublikasikan
Bukti permulaan pendukung yang perlu disampaikan antara lain:
- Bukti transfer, cek, bukt penyetoran, dan rekening koran bank
- Laporan hasil audit investigasi
- Dokumen dan/atau rekaman terkait permintaan dana
- Kontrak, berita acara pemeriksaan, dan bukti pembayaran
- Foto dokumentasi
- Surat, disposisi perintah
- Bukti kepemilikan
- Identitas sumber informasi
Jika memiliki informasi maupun
buktI-bukti terjadinya korupsi, jangan ragu untuk melaporkannya ke KPK.
Kerahasiaan identitas pelapor dijamin selama pelapor tdak
mempublikasikan sendiri perihal laporan tersebut.
Jika perlindungan kerahasiaan tersebut
masih dirasa kurang, KPK juga dapat memberikan pengamanan fisik sesuai
dengan permintaan pelapor.
KONTAK LAYANAN PENGADUAN MASYARAKAT
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-1
Jakarta Selatan 12920
PO Box 575 Jakarta 10120
Telp: (021) 2557 8389
Faks: (021) 5289 2454
SMS: 0855 8 575 575, 0811 959 575
E-mail: pengaduan@kpk.go.id.
KWS: http://kws.kpk.go.id
Rabu, 15 Mei 2013
Telah terjadi kesewenangan pemilik kost terhadap penghuni kost,
seperti masuk kamar penghuni tanpa ada izin terlebih dahulu dari penyewa
kamar itu. Adakah aturan hukum untuk menindak kesewenangan pemilik kost
tersebut? Terima kasih.
Sebelumnya, perlu kita ketahui bahwa kost atau yang berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebut juga dengan indekos memiliki arti tinggal di rumah orang lain
dng atau tanpa makan (dng membayar setiap bulan); memondok. Pada
praktiknya, indekos adalah penyewaan kamar yang sudah dilengkapi dengan
mebel-mebel di dalam kamar tersebut.
Mengenai penyewaan kamar ini, kita dapat melihat pada ketentuan dalam Pasal 1586 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”):
“Penyewaan
kamar yang dilengkapi dengan mebel harus dianggap telah dilakukan untuk
tahunan, bila dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap tahun; untuk
bulanan, bila dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap bulan; untuk
harian, bila dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap hari. Jika tidak
ternyata bahwa penyewaan dibuat atas pembayaran sejumlah uang tiap
tahun, tiap bulan atau tiap hari, maka penyewaan dianggap telah dibuat
menurut kebiasaan setempat.”
Pasal
1586 KUHPer ini termasuk ke dalam Bab VII tentang Sewa Menyewa. Ini
berarti terhadap indekos juga berlaku pengaturan mengenai sewa menyewa.
Sewa
menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak
yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang
disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu (Pasal 1548 KUHPer).
Dalam pengaturan mengenai sewa menyewa, berdasarkan Pasal 1550 KUHPer, pihak yang menyewakan diwajibkan untuk:
1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa;
2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan;
3. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram daripada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa.
Pada
dasarnya, dalam ketentuan mengenai sewa menyewa tidak diatur mengenai
tindakan kesewenangan penyewa terhadap orang yang menyewa yang dalam hal
ini adalah pemilik indekos masuk kamar penghuni tanpa ada izin terlebih
dahulu dari penyewa kamar itu. Akan tetapi pada prinsipnya penyewa
kamar indekos tersebut memiliki hak untuk dapat menggunakan kamar yang
ia sewa tanpa ada gangguan dari pihak manapun.
Terkait
tindakan pemilik indekos yang mengganggu itu, pertama-tama Anda harus
melihat terlebih dahulu apakah sebelumnya telah diperjanjikan bahwa
pemilik indekos dapat masuk ke kamar penyewa kamar indekos tanpa izin
penyewa kamar. Jika tidak ada pengaturan demikian, maka Anda dapat
membicarakan dengan baik-baik bahwa Anda merasa tidak nyaman dengan
tindakan pemilik indekos.
Jika
cara tersebut tidak berhasil, Anda dapat melakukan gugatan atas dasar
perbuatan melawan hukum, yaitu bertentangan dengan hak orang lain.
Dimana hak Anda adalah mendapatkan ketentraman dalam menikmati barang
yang Anda sewa dan tidak untuk diganggu privasi Anda. Mengenai perbuatan
melawan hukum, Anda dapat membaca artikel-artikel berikut ini:
Demikian, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Perbedaan antara Keputusan Presiden dengan Peraturan Presiden
1. Apakah Keputusan Presiden bisa
disamakan dengan Peraturan Presiden?
2. Jika berbeda, bagaimana kekuatan
hukum dan pemberlakuan Keputusan Presiden?
1. Pembahasan mengenai hal ini pernah kami tulis dalam artikel Perbedaan Keputusan dengan Peraturan dan Perbedaan antara Peraturan Menteri dengan Keputusan Menteri.
Seperti dijelaskan dalam artikel Perbedaan Keputusan Dengan Peraturan, suatu keputusan (beschikking) selalu bersifat individual, kongkret dan berlaku sekali selesai (enmahlig). Sedangkan, suatu peraturan (regels) selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku secara terus menerus (dauerhaftig).
Dengan demikian, Keputusan
Presiden (Keppres) berbeda dengan Peraturan Presiden (Perpres).
Keputusan Presiden adalah norma hukum yang bersifat konkret, individual,
dan sekali selesai (contoh: Keppres No. 6/M Tahun 2000 tentang Pengangkatan Ir. Cacuk Sudarijanto sebagai Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Sedangkan Peraturan Presiden adalah norma hukum yang bersifat abstrak, umum, dan terus-menerus (contoh: Perpres No. 64 Tahun 2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Jalan).
Kecuali untuk Keputusan Presiden yang sampai saat ini masih berlaku dan mengatur hal yang umum contohnya Keppres No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional, maka berdasarkan Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”), Keppres tersebut harus dimaknai sebagai peraturan.
Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 100 UU 12/2011 yang berbunyi:
“Semua Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau
keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
Jadi, Keputusan Presiden berbeda dengan Peraturan Presiden karena sifat dari Keputusan adalah konkret,
individual, dan sekali selesai sedangkan sifat dari Peraturan adalah
abstrak, umum, dan terus-menerus. Bila Keppres bersifat mengatur hal
yang umum, maka harus dimaknai sebagai Peraturan.
2. Mengenai
kekuatan hukum dan pemberlakuan suatu Keputusan Presiden, kembali pada
materi yang diatur dalam Keputusan Presiden tersebut. Apabila Keppres
tersebut bersifat konkret, individual, sekali selesai, maka isi Keppres
hanya berlaku dan mengikat kepada orang atau pihak tertentu yang disebut
dan mengenai hal yang diatur dalam Keppres tersebut.
Beda halnya jika Keppres
tersebut berisi muatan yang bersifat abstrak, umum, dan terus menerus,
maka Keppres tersebut berlaku untuk semua orang dan tetap berlaku sampai
Keppres tersebut dicabut atau diganti dengan aturan baru.
Jadi, Keppres berbeda dengan Perpres karena sifat-sifat dari Keputusan Presiden adalah konkret,
individual, dan sekali selesai sedangkan sifat dari Peraturan Presiden
adalah abstrak, umum, dan terus-menerus. Isi Keppres berlaku untuk orang
atau pihak tertentu yang disebut dalam Keppres tersebut, sedangkan isi
Perpres berlaku untuk umum. Kecuali bila Keppres memiliki muatan seperti
Perpres, maka keberlakuannya juga sama seperti Perpres.
Demikian, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Peraturan
Presiden Nomor 64 Tahun 2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan
Penetapan Harga Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Jalan;
3. Keputusan Presiden Nomor 6/M Tahun 2000 tentang Pengangkatan Ir. Cacuk Sudarijanto sebagai Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
4. Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional.
Jerat Hukum Pengancaman Melalui Media Elektronik
saya sebagai anak paling bungsu dari 3 bersaudara
di keluarga saya. Orang tua saya pisah sementara selama 3 minggu
setelah ibu saya ketahuan selingkuh dengan pria lain. Ayah saya menuduh
adik dari ibu saya telah mempengaruhi ibu saya. Saking kesalnya, secara
tidak sengaja ayah saya mengancam adik ibu saya melalu media elektronik
blackberry. Kemudian, ibu saya membalas dengan melaporkan bukti ancaman
berupa chat history blackberry messenger ke polisi. Saya sangat prihatin
dengan kondisi keluarga saya yang melibatkan hukum karena masalah tidak
bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Jadi, pasal hukum apa saja yang
terlibat bila ibu saya benar-benar mau melaporkan ayah saya ke polisi?
Terima kasih atas pertanyaan Anda,
Sebelumnya,
saya perlu menyampaikan rasa prihatin saya atas permasalahan yang
dialami oleh keluarga Anda. Saya berharap permasalahan tersebut dapat
segera diselesaikan secara kekeluargaan, tanpa harus melalui proses
hukum. Karena pada prinsipnya hukum pidana adalah ultimum remedium, atau upaya terakhir yang dapat ditempuh setelah semua upaya lain sudah coba ditempuh.
Untuk
menjawab pertanyaan pokok Anda, sejauh ini dari pengamatan saya, dapat
diasumsikan bahwa perbuatan yang dilaporkan oleh ibu Anda adalah soal
pengancaman ayah Anda terhadap adik ibu Anda dengan menggunakan media
elektronik. Namun demikian, dalam proses penyidikan dimungkinkan adanya
delik lain yang dapat dipersangkakan terhadap ayah Anda. Hal ini sebagai
konsekuensi dari berkembangnya proses penyidikan atas suatu dugaan
tindak pidana.
Secara
konvensional, dugaan tindak pidana pengancaman yang ayah Anda lakukan,
lebih tepat jika dipersangkakan dengan menggunakan Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan dan bukan dengan menggunakan Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan dan Pengancaman.
Akan
tetapi, karena dugaan tindak pidana pengancaman tersebut dilakukan
melalui sarana/media yaitu dengan suatu informasi atau dokumen
elektronik (melalui blackberry messenger), maka ketentuan Pasal 29 Jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) dapat diterapkan sebagai lex specialis (hukum yang lebih khusus, ed.) dari Pasal 335 KUHP, yang berbunyi:
Pasal 29 UU ITE
“Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau
menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”
Pasal 45 ayat (3) UU ITE
“Setiap
Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
Menjawab
pertanyaan Anda, selain ketentuan Pasal 29 Jo. Pasal 45 ayat 3 UU ITE
tentang pengancaman secara elektronik tersebut di atas, maka jika
memenuhi unsur-unsur pasal yang ada dan seiring dengan berkembangnya
proses penyidikan, ayah Anda juga dapat dipersangkakan telah melanggar Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE tentang Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik secara elektronik, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Sekedar
informasi bagi Anda, sejak 21 April 2008, UU ITE telah menjadi “hukum
positif” di Indonesia, artinya sudah berlaku secara sah dan setiap orang
dianggap telah mengetahuinya (teori fiksi hukum). Di satu sisi, UU ITE
telah memberikan pengaturan sanksi pidana yang sangat keras bagi yang
melanggarnya, namun tidak memberikan ketegasan dan kejelasan apakah
perbuatan tersebut termasuk dalam “delik biasa” (setiap orang karena hak
dan kewajibannya dapat melaporkan suatu perbuatan pidana) atau “delik
aduan” (delik yang hanya bisa diproses secara hukum jika ada pengaduan
dari korban langsung).
Untuk itu, saya berpendapat bahwa dalam menerapkan pasal-pasal yang mengandung sanksi pidana dalam UU ITE yang merupakan lex specialis
dari pasal-pasal KUHP, hendaknya para penegak hukum dapat memperhatikan
apakah pasal-pasal dari KUHP tersebut sebagai ketentuan umum (general)
merupakan delik aduan atau delik biasa. Hal ini penting, untuk menjaga
agar penerapan pasal-pasal pidana yang tersebar dalam UU ITE tidak
dijadikan sebagai “sapu jagat” untuk mengkriminalkan seseorang.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga memberikan pencerahan untuk Anda.
Dasar hukum:
Kedudukan Pemerintahan Desa dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan
Kedudukan Pemerintahan Desa dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan
Mengapa pemilihan kepala desa tidak dimasukkan dalam salah satu bagian macam-macam pemilu di dalam UUD 1945?
Menurut hemat
kami, lembaga yang paling tepat adalah Majelis Pemusyawaratan Rakyat (“MPR”). Karena MPR
berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Selain itu, Anda juga dapat menyimak buku ”Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002” yang diterbitkan Mahkamah Konstitusi untuk mengetahui proses pembahasan perubahan UUD 1945 oleh MPR.
Meski demikian,
dalam kesempatan ini kami akan menjelaskan mengenai pengaturan Pemilihan
Umum dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, serta soal
pemilihan kepala desa. Dalam konteks pertanyaan Anda, maka pembahasan
soal pemilihan kepala desa akan kami kaitkan dengan bagaimana kedudukan
pemerintahn desa dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
Mengenai Pemilihan Umum, di dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa:
“Pemilihan
Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.”
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Selain
pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD,
dalam UUD 1945 juga disinggung soal pemilihan kepala daerah. Pemilihan
kepala daerah yaitu Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara
demokratis (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945). Pelaksanaan pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota sekarang ini dipilih dalam satu pasangan
calon yang dilaksanakan dengan demokratis secara langsung (Pasal 56 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) Berdasarkan Pasal 57 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (“UU
Pemda”), penyelenggara dari pemilihan umum kepala daerah adalah Komisi
Pemilihan Umum Daerah yang bertanggung jawab kepada DPRD.
Dengan demikian, dapat dikatakan yang termasuk Pemilihan Umum yang diatur
dalam UUD 1945 adalah pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD yang diselenggarakan oleh Komisi
Pemilihan Umum, serta Pemilihan Umum Kepala Daerah (Gubernur, Bupati,
dan Walikota) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah.Jadi, UUD 1945 memang tidak menjadikan pemilihan kepala desa sebagai bagian dari Pemilihan Umum.
Guna memahami hal tersebut, menurut kami relevan untuk menyimak pendapat Jimly Asshiddiqie dalam buku “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia” (hal. 234). Dalam buku tersebut Jimly berpendapat bahwa keberadaan desa sebagai ‘self governing community’
bersifat otonom atau mandiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa daya jangkau
organisasi Negara secara struktural hanya sampai pada tingkat
kecamatan, sedangkan di bawah kecamatan dianggap sebagai wilayah otonom
yang diserahkan pengaturan dan pembinaannya kepada dinamika yang hidup
dalam masyarakat sendiri secara otonom. Semangat demikian ini telah
dikukuhkan pula dalam perubahan UUD 1945 yang memberikan peluang untuk
tumbuh dan berkembangnya hukum adat yang hidup dalam masyarakat. Hal ini
merujuk pada ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Menurut Jimly Asshiddiqie (2002: 24) sebagaimana dikutip dari makalah yang berjudul “Pendapat KHN tentang RUU Desa” yang disusun Komisi Hukum Nasional
(“KHN”), yang dimaksud sebagai satuan pemerintahan daerah di sini
adalah satuan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau
pemerintahan desa yang bersifat khusus atau istimewa, misalnya sistem
pemerintahan desa di Provinsi Sumatera Barat yang disebut dengan nagari
dan di beberapa daerah lain berkembang sistem pemerintahan desa yang
bersifat khas, khusus ataupun istimewa.
Pendapat Jimly tersebut bersesuaian dengan definisi desamenurut Pasal 1 angka 12 UU Pemda yaitu:
“Desa
atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pemilihan Kepala Desa lebih jauh diatur dalam UU Pemda. Pemilihan Kepala Desa
dilaksanakan secara langsung oleh penduduk desa Warga Negara Indonesia
yang syarat dan tata caranya diatur dalam Perda yang berpedoman pada
Peraturan Pemerintah (Pasal 203 ayat [1] UU Pemda). Kepala Desa berbeda dengan Lurah. Kepala Desa dipilih dari penduduk yang berasal dan tinggal di desa tersebut (lihat Pasal 203 ayat [1] UU Pemda),
sedangkan Lurah adalah pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan
teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang diangkat Bupati/Walikota atas usul Camat (Pasal 127 ayat [4] UU Pemda). Ketentuan lebih lanjut mengenai desa juga diatur dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Dengan penjelasan tersebut, menurut hemat kami, alasan mengapa dalam UUD 1945 tidak mengatur soal pemilihan kepala desa boleh jadi karena
desa diberikan wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri
berdasarkan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati oleh Negara
Republik Indonesia. Bukti
adanya sifat pemerintahan sendiri dalam desa dapat dilihat dari fakta
bahwa desa memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri dari pemerintah
desa dan badan permusyawaratan desa (Pasal 200 ayat [1] UU Pemda). Bahkan badan permusyawaratan desa bersama kepala desa dapat membuat peraturan desa (Pasal 209 UU Pemda).
Pada
sisi lain, pengaturan pemerintahan desa yang demikian rupa dalam UU
Pemda dipandang cenderung bertentangan dengan semangat UUD 1945.
Pandangan ini antara lain dapat kita simak dalam makalah “Pendapat KHN tentang RUU Desa” sebagai berikut:
UU No. 32 Tahun 2004 melakukan pembagian NKRI menjadi propinsi dan kabupaten/kota. Dalam Pasal 2 menegaskan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Desa, dalam hal ini, tidak termasuk dalam skema desentralisasi teritorial. Undang-undang ini tidak mengenal otonomi Desa melainkan hanya otonomi daerah. Pengaturan seperti ini membawa konsekuensi pada keberadaan Desa yang kurang menonjol dan Desa menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Hal ini bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 18B UUD 1945 bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
Demikian, semoga bermanfaat.
Jika Pemeriksaan Kendaraan Dilakukan Polisi Tanpa Surat Perintah
Assalamualaikum, bila kita kedapatan melanggar lalu lintas apakah
polisi bisa menindak, sedangkan polisi tersebut sedang tidak berdinas
atau tidak ada surat perintah?
Wa’alaikum salam Wr. Wb.
Berdasarkan asumsikan kami bahwa si pelanggar kedapatan
melanggar lalu lintas dalam keadaan tertangkap tangan. Menurut Pasal 1 angka 19 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
“Tertangkap
tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak
pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu
dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai
orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan
benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan
atau membantu melakukan tindak pidana itu.”
Kemudian, khusus di bidang penegakan aturan lalu lintas, polisi memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 260 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, antara lain:
a. memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;
b. melakukan
pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan Penyidikan
tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum;
d. melakukan
penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan,
Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan
Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti;
e. melakukan
penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan Lalu
Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti;
h. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau
i. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.
Kemudian,
bagaimana jika penindakan pelanggaran lalu lintas dilakukan oleh polisi
yang sedang tidak berdinas atau tidak menggunakan surat perintah?
Mengenai hal ini diatur lebih lanjut dalam PP
No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di
Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (1) PP 80/2012,
petugas kepolisian yang melakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di
jalan wajib menggunakan pakaian seragam dan atribut serta wajib
dilengkapi surat perintah tugas.
Jika
petugas kepolisian sudah memenuhi dua syarat ini, baru kemudian ia
boleh melakukan penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas dalam hal
tertangkap tangan pada saat melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli (lihat Pasal 14 PP 80/2012).
Di
dalam pertanyaan diatas, disebutkan polisi tersebut “sedang tidak
berdinas”. Jika yang Saudara maksud sedang tidak berdinas yaitu polisi
tersebut tidak memakai seragam, maka seperti telah kami jelaskan
sebelumnya, petugas kepolisian yang melakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan wajib menggunakan pakaian seragam dan atribut.
Jadi,
jika pemeriksaan kendaraan bermotor dilakukan oleh petugas kepolisian
yang tidak memakai seragam atau atribut, dan dilakukan tanpa surat
perintah tugas, maka pemeriksaan yang dilakukannya tidak sah secara
hukum.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Status Hukum Anak Hasil Sewa Rahim
sewa rahim atau sering juga dikenal dengan istilah surrogate mother
sebenarnya belum ada pengaturannya dalam hukum Indonesia. Hukum di
Indonesia hanya mengatur mengenai upaya kehamilan di luar cara alamiah
yang mana hasil pembuahan dari suami isteri tersebut ditanamkan dalam
rahim isteri dari mana ovum berasal. Mengenai hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 127 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Dalam Pasal 127 UU Kesehatan diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a) hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung.
Sementara itu, Dr. H. Desriza Ratman, MH.Kes dalam bukunya Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia? antara lain menulis bahwa surrogate mother adalah
perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu
perjanjian dengan pihak lain (suami-isteri) untuk menjadi hamil terhadap
hasil pembuahan suami isteri tersebut yang ditanamkan ke dalam
rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut
kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat. Perjanjian ini lazim disebut gestational agreement (hal. 3). Intinya, surrogate mother
adalah perempuan yang menampung pembuahan suami isteri dan diharapkan
melahirkan anak hasil pembuahan. Dalam bahasa sederhana berarti ‘ibu
pengganti’ atau ‘ibu wali’ (hal. 35). Dari sisi hukum, perempuan penampung pembuahan dianggap ‘menyewakan’ rahimnya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat kita lihat bahwa surrogate mother
ini dikenal juga dengan istilah sewa rahim dikarenakan metodenya, yang
mana hasil pembuahan suami isteri ditampung dalam rahim perempuan lain
yang dianggap menyewakan rahimnya.
Dalam artikel Perlu Payung Hukum Sewa Rahim yang dimuat suaramerdeka.com, pakar hukum kesehatan Undip, dokter Sofwan Dahlan
mengatakan praktik sewa rahim secara medis sangat mungkin dilakukan
mengingat prosesnya secara garis besar sama dengan bayi tabung. Hanya
saja, menurutnya, rahim inang yang digunakan berbeda. Dalam artikel
tersebut juga ditulis pernyataan dari Prof Dr Agnes Widanti yang
mengatakan bahwa kasus sewa rahim memang menjadi satu dilema. Dia
mengatakan, di satu sisi masyarakat membutuhkan, namun di sisi hukum
belum ada aturan yang mengatur sewa menyewa rahim sehingga bisa
menimbulkan suatu masalah di kemudian hari yang penyelesaiannya sangat
sulit. Prof Agens juga mengatakan bahwa kenyataan di Indonesia, surrogate mother ini dibutuhkan dan sudah dilakukan oleh masyarakat dengan diam-diam atau secara kekeluargaan.
Status dan Hak waris anak hasil sewa rahim
Mengenai
status anak yang lahir dari sewa rahim, pertama-tama kita harus melihat
terlebih dahulu pengertian mengenai anak yang sah Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”).
Dalam Pasal 42 UU Perkawinan dikatakan bahwa yang dimaksud anak sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah.
Sedangkan dalam hukum Islam, berdasarkan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), yang dimaksud dengan anak sah adalah:
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Sebenarnya
secara biologis, anak yang dilahirkan oleh si ibu pengganti dari adanya
sewa rahim tersebut, adalah anak dari si pasangan suami dan istri
tersebut, hanya saja dilahirkan melalui perempuan lain.
Akan
tetapi, mengenai hal ini terdapat beberapa pendapat. Menurut Desriza
Ratman (hal. 120), untuk melihat golongan anak dari kasus surrogate mother, harus dilihat dulu status perkawinan dari wanita surrogate.
Menurutnya, anak yang dilahirkan dari sewa rahim dapat berstatus
sebagai anak di luar perkawinan yang tidak diakui, jika status wanita surrogate-nya
adalah gadis atau janda. Dalam hal ini, anak yang dilahirkan adalah
“anak di luar perkawinan yang tidak diakui”, yaitu anak yang dilahirkan
karena zina, yaitu akibat dari perhubungan suami atau isteri dengan
laki-laki atau perempuan lain.
Akan tetapi, lanjut Desriza, anak tersebut dapat menjadi anak sah jika status wanita surrogate-nya
terikat dalam perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang
dilahirkan adalah anak sah pasangan suami isteri yang disewa rahimnya,
sampai si bapak (suami dari wanita surrogate) mengatakan “Tidak” berdasarkan Pasal 251, Pasal 252, dan Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(“KUHPer”) dengan pemeriksaan darah atau DNA dan keputusan tetap oleh
pengadilan dan juga berdasarkan atas UU Perkawinan Pasal 44: Seorang
suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bila
mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu
akibat dari perzinaan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang
sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Mengenai
hak waris anak yang dilahirkan dari sewa rahim, menurut Desriza, hak
waris anak akan ditentukan dari status anak tersebut, apakah anak
tersebut adalah anak di luar perkawinan yang tidak diakui atau anak sah.
Sewa rahim menurut Hukum Islam
Dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3, ulama besar Mesir Dr. Yusuf Qaradhawi antara lain menulis bahwa semua ahli fiqih tidak membolehkan penyewaan rahim dalam berbagai bentuknya
(hal. 660). Menurutnya, para ahli fiqih dan para pakar dari bidang
kedokteran telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan suami-istri atau
salah satunya untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan demi membantu
mereka mewujudkan kelahiran anak. Namun, mereka syaratkan spermanya harus milik sang suami dan sel telur milik sang istri, tidak ada pihak ketiga di antara mereka. Misalnya, dalam masalah bayi tabung (hal. 659). Demikian tulis Qaradhawi.
Selanjutnya,
Qaradhawi menulis, jika sperma berasal dari laki-laki lain baik
diketahui maupun tidak, maka ini diharamkan. Begitupula jika sel telur
berasal dari wanita lain, atau sel telur milik sang istri, tapi rahimnya
milik wanita lain, inipun tidak diperbolehkan. Ketidakbolehan ini,
menurut Qaradhawi, dikarenakan cara ini akan menimbulkan sebuah
pertanyaan membingungkan, “Siapakah sang ibu bayi tersebut, apakah si
pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan, ataukah yang
menderita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?”
Padahal, ia hamil dan melahirkan bukan atas kemauannya sendiri. Demikian
Qaradhawi menjelaskan.
Lebih jauh Qaradhawi menulis:
“Bahkan,
jika wanita tersebut adalah istri lain dari suaminya sendiri, maka ini
tidak diperbolehkan juga. Pasalnya, dengan cara ini, tidak diketahui
siapakah sebenarnya dari kedua istri ini yang merupakan ibu dari bayi
akan dilahirkan kelak. Juga, kepada siapakah nasab (keturunan) sang bayi
akan disandarkan, pemilik sel telur atau si pemilik rahim?
Para
ahli fiqih sendiri berbeda pendapat jika hal ini benar-benar terjadi.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ibu sang bayi tersebut
adalah si pemilik sel telur, dan saya lebih condong kepada pendapat ini.
Ada juga yang berpendapat bahwa ibunya adalah wanita yang mengandung
dan melahirkannya. Makna lahiriah dari ayat Al-Qur’an, sejalan dengan
pendapat ini, yaitu dalam firman Allah swt,
‘Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.’
(al-Mujaadilah: 2)”
Demikian
kami telah sajikan penjelasan berikut berbagai pendapat mengenai hukum
sewa rahim, dan status anak yang dilahirkan dari sewa rahim. Dari
berbagai macam pendapat yang kami sajikan tersebut dapat terlihat bahwa
pada dasarnya mengenai praktik sewa rahim maupun status anak yang
dilahirkan melalui sewa rahim, masih terdapat pro kontra. Pada akhirnya,
jika terjadi sengketa sehubungan hal ini, Hakim di pengadilan lah yang
akan memutuskan penyelesaiannya.
Demikian, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Al-Quran
5. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
Referensi:
1. Dr. Yusuf Qaradhawi. 2001. Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3. Gema Insani Pers: Jakarta.
2. Dr.
H. Desriza Ratman, MH.Kes. 2012. Surrogate Mother dalam Perspektif
Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia? Elex Media
Komputindo: Jakarta
Jika Anggota Polri Memiliki Harta Kekayaan Berlimpah
Jika pasangan suami dan istri anggota polri yang berpangkat masing-masing, Aipda dan Aiptu, tapi memiliki 12 rumah kontrakan, sebidang tanah dengan luas 1000 m, memiliki 2 rumah mewah, dan sebuah pom bensin (walau hanya kerja sama usaha pom bensin), memiliki restoran besar. Apakah termasuk ada unsur korupsi, mengingat kedua pasangan tersebut anggota polri ??
Dalam
hal ini, kami berasumsi bahwa anggota Polri yang Anda maksud adalah
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Polri”) dan Pasal 1 angka 2 Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 Tentang
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“KEPP”).
Kami
juga berasumsi pangkat “Aipda” yang Anda maksud adalah singkatan dari
Ajun Inspektur Polisi Dua, sedangkan “Aiptu” adalah singkatan dari Ajun
Inspektur Polisi Satu. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Polri, dapat kita lihat bahwa anggota Polri adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aipda dan Aiptu termasuk anggota Polri Golongan II (Bintara).
Sebelum
membahas mengenai apakah harta benda yang dimiliki oleh pasangan suami
isteri anggota Polri ini termasuk ada unsure korupsi, kita lihat
terlebih dahulu sebenarnya apa saja hak-hak dari anggota Polri (dari
sudut materi).
Pada dasarnya, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak (Pasal 26 ayat (1) UU Polri). Mengenai hal tersebut Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2010 Tentang Hak-Hak Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP No. 42/2010”) mengatur lebih rinci mengenai hak-hak yang diterima oleh anggota Polri, yaitu:
1. Gaji
pokok, yang dapat diberikan kenaikan secara berkala dan dapat diberikan
kenaikan gaji istimewa bagi anggota Polri yang berprestasi (Pasal 2 PP No. 42/2010);
2. Tunjangan keluarga (yang terdiri atas tunjangan istri/suami dan anak), tunjangan jabatan, tunjangan lauk pauk, tunjangan beras (Pasal 3 PP No. 42/2010);
3. Tunjangan umum dan tunjangan lainnya (Pasal 4 PP No. 42/2010). Dalam artikel Anggota Polri Dapat Tunjangan 100 Persen
diberitakan antara lain bahwa Anggota Polri dan Pegawai Negeri Sipil
(PNS) Polri yang bertugas secara penuh pada pulau–pulau kecil terluar
dan/atau wilayah perbatasan mendapat tunjangan khusus. Setiap bulan,
tunjangan mereka pada kisaran 75-100 persen gaji pokok sesuai tempat
tugas masing-masing. Tunjangan khusus ini diatur dalam Perpres No. 34
Tahun 2012 tentang Tunjangan Khusus Wilayah Pulau-Pulau Kecil Terluar
dan/atau Wilayah Perbatasan Bagi Pegawai Negeri;
4. Perumahan
dinas/asrama/mess, sedangkan bagi anggota Polri yang belum memperoleh
perumahan dinas/asrama/mess dapat diberikan kompensasi sewa rumah sesuai
kemampuan keuangan negara (Pasal 11 PP No. 42/2010);
5. Fasilitas transportasi atau angkutan dinas (Pasal 12 PP No. 42/2010)
Mengenai besarnya gaji untuk anggota Polri dapat Anda lihat dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 17 Tahun 2012 Tentang Perubahan
Kedelapan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2001 Tentang
Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Besarnya gaji pokok anggota Polri juga bergantung pada masa kerja golongan (MKG) anggota Polri yang bersangkutan.
Terkait dengan korupsi, pada dasarnya setiap anggota Polri pada saat mengucapkan sumpah jabatan berjanji bahwa ia akan
bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima
pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak
langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya (Pasal 23 UU Polri).
Selain itu, berdasarkan Pasal 13 KEPP
dilarang untuk melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan/atau gratifikasi. Lebih jauh
mengenai apa saja yang menjadi kewajiban dan larangan bagi anggota
Polri, dapat dilihat juga dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Akan
tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa tentu saja tetap ada kemungkinan
pelanggaran dilakukan oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugas
sebagai anggota Polri. Tentu saja hal tersebut harus dibuktikan terlebih
dahulu, misalnya dapat dilihat dari tidak sesuainya gaji dan tunjangan
yang diperoleh oleh anggota Polri dengan harta benda yang dimilikinya.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam artikel yang berjudul Pembuktian Terbalik Bisa Diterapkan untuk Pegawai Negeri,
bila ada seorang PNS yang mempunyai kekayaan melebihi pendapatan
seharusnya berarti sudah bisa dipastikan bahwa tindakannya tersebut
ilegal. Jimly juga mengatakan bahwa bisa dipastikan dia mempunyai
pendapatan di luar resmi.
Kemudian, di dalam artikel Bukti yang Harus Dimiliki PNS atas Penghasilan Sampingan
antara lain dijelaskan bahwa untuk memastikan bahwa dana di rekening
gendut PNS bukanlah dari hasil tindak pidana (misal: korupsi), Pasal 5 angka 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
menentukan bahwa seorang PNS sebagai penyelenggara Negara berkewajiban
untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah
menjabat sebagai PNS.
Jadi,
untuk dapat mengatakan anggota Polri tersebut melakukan tindak pidana
korupsi, maka harus dapat dibuktikan bahwa ada tindakan yang dilakukan
oleh pasangan suami isteri tersebut atau salah satu dari mereka yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
2. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
7. Peraturan
Presiden No. 34 Tahun 2012 tentang Tunjangan Khusus Wilayah Pulau-Pulau
Kecil Terluar dan/atau Wilayah Perbatasan Bagi Pegawai Negeri
8. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Langganan:
Postingan (Atom)